Baratayuda adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut
perang besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Korawa.
Perang ini merupakan klimaks dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah
wiracarita terkenal dari India.
Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha, yaitu judul
sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuna yang ditulis pada tahun 1157
oleh Mpu Sedah atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri.
Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa
Baru dengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman
Kasunanan Surakarta.
Di Yogyakarta, cerita Baratayuda ditulis ulang dengan judul Serat
Purwakandha pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V.
Penulisannya dimulai pada 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848.
Sebab Peperangan
Kurukshetra, lokasi tempat Bharatayuddha berlangsung (di India).
Sama halnya dengan versi aslinya, yaitu versi Mahabharata, perang
Baratayuda merupakan puncak perselisihan antara keluarga Pandawa yang
dipimpin oleh Puntadewa (atau Yudistira) melawan sepupu mereka, yaitu
para Korawa yang dipimpin oleh Duryudana.
Akan tetapi versi pewayangan menyebut perang Baratayuda sebagai
peristiwa yang sudah ditetapkan kejadiannya oleh dewata. Konon, sebelum
Pandawa dan Korawa dilahirkan, perang ini sudah ditetapkan akan terjadi.
Selain itu, Padang Kurusetra sebagai medan pertempuran menurut
pewayangan bukan berlokasi di India, melainkan berada di Jawa. Dengan
kata lain, kisah Mahabharata menurut tradisi Jawa dianggap terjadi di
Pulau Jawa.
Bibit perselisihan antara Pandawa dan Korawa dimulai sejak orang tua
mereka masih sama-sama muda. Pandu, ayah para Pandawa suatu hari membawa
pulang tiga orang putri dari tiga negara, bernama Kunti, Gendari, dan
Madrim. Salah satu dari mereka dipersembahkan kepada Dretarastra,
kakaknya yang buta. Dretarastra memutuskan untuk memilih Gendari,
sehingga membuat putri dari Kerajaan Plasajenar itu tersinggung dan
sakit hati. Ia pun bersumpah keturunannya kelak akan menjadi musuh
bebuyutan anak-anak Pandu.
Gendari dan adiknya, bernama Sengkuni, mendidik anak-anaknya yang
berjumlah seratus orang untuk selalu memusuhi anak-anak Pandu. Ketika
Pandu meninggal, anak-anaknya semakin menderita. nyawa mereka selalu
diincar oleh sepupu mereka, yaitu para Korawa. Kisah-kisah selanjutnya
tidak jauh berbeda dengan versi Mahabharata, antara lain usaha
pembunuhan Pandawa dalam istana yang terbakar, sampai perebutan Kerajaan
Amarta melalui permainan dadu.
Akibat kekalahan dalam perjudian tersebut, para Pandawa harus
menjalani hukuman pengasingan di Hutan Kamiyaka selama 12 tahun,
ditambah dengan setahun menyamar sebagai orang rakyat jelata di Kerajaan
Wirata. Namun setelah masa hukuman berakhir, para Korawa menolak
mengembalikan hak-hak para Pandawa. Keputusan inilah yang membuat perang
Baratayuda tidak dapat dihindari lagi.
Kitab Jitabsara
Dalam pewayangan Jawa dikenal adanya sebuah kitab yang tidak terdapat
dalam versi Mahabharata. Kitab tersebut bernama Jitabsara berisi
tentang urutan siapa saja yang akan menjadi korban dalam perang
Baratayuda. kitab ini ditulis oleh Batara Penyarikan, atas perintah
Batara Guru, raja kahyangan.
Kresna raja Kerajaan Dwarawati yang menjadi penasihat pihak Pandawa
berhasil mencuri kitab tersebut dengan menyamar sebagai seekor lebah
putih. Namun, sebagai seorang ksatria, ia tidak mengambilnya begitu
saja. Batara Guru merelakan kitab Jitabsara menjadi milik Kresna,
asalkan ia selalu menjaga kerahasiaan isinya, serta menukarnya dengan
Kembang wijayakusuma, yaitu bunga pusaka milik Kresna yang bisa
digunakan untuk menghidupkan orang mati. Kresna menyanggupinya. Sejak
saat itu Kresna kehilangan kemampuannya untuk menghidupkan orang mati,
namun ia mengetahui dengan pasti siapa saja yang akan gugur di dalam
Baratayuda sesuai isi Jitabsara yang telah ditakdirkan dewata.
Aturan Peperangan
Ilustrasi saat perang di Kurukshetra dalam kitab Mahabharata.
Jalannya perang Baratayuda versi pewayangan sedikit berbeda dengan
perang versi Mahabharata. Menurut versi Jawa, pertempuran diatur
sedemikian rupa sehingga hanya tokoh-tokoh tertentu yang ditunjuk saja
yang maju perang, sedangkan yang lain menunggu giliran untuk maju.
Sebagai contoh, apabila dalam versi Mahabharata, Duryodhana sering
bertemu dan terlibat pertempuran melawan Bimasena, maka dalam pewayangan
mereka hanya bertemu sekali, yaitu pada hari terakhir di mana Duryudana
tewas di tangan Bima.
Dalam pihak Pandawa yang bertugas mengatur siasat peperangan adalah
Kresna. Ia yang berhak memutuskan siapa yang harus maju, dan siapa yang
harus mundur. sementara itu di pihak Korawa semuanya diatur oleh
Duryudana sendiri, yang seringkali dilakukannya tanpa perhitungan
cermat.
Pembagian babak
Di bawah ini disajikan pembagian kisah Baratayuda menurut versi pewayangan Jawa.Babak 1: Seta Gugur
Babak 2: Tawur (Bisma Gugur)
Babak 3: Paluhan (Bogadenta Gugur)
Babak 4: Ranjapan (Abimanyu Gugur)
Babak 5: Timpalan (Burisrawa Gugur atau Dursasana Gugur) Babak 6: Suluhan (Gatotkaca Gugur)
Babak 7: Karna Tanding
Babak 8: Rubuhan (Duryudana Gugur)
Babak 9: Lahirnya Parikesit
Jalannya pertempuran
Karena kisah Baratayuda yang tersebar di Indonesia dipengaruhi oleh
kisah sisipan yang tidak terdapat dalam kitab aslinya, mungkin banyak
terdapat perbedaan sesuai dengan daerah masing-masing. Meskipun
demikian, inti kisahnya sama.
Babak pertama
Dikisahkan, Bharatayuddha diawali dengan pengangkatan senapati agung
atau pimpinan perang kedua belah pihak. Pihak Pandawa mengangkat Resi
Seta sebagai pimpinan perang dengan pendamping di sayap kanan Arya Utara
dan sayap kiri Arya Wratsangka. Ketiganya terkenal ketangguhannya dan
berasal dari Kerajaan Wirata yang mendukung Pandawa. Pandawa menggunakan
siasat perang Brajatikswa yang berarti senjata tajam. Sementara di
pihak Kurawa mengangkat Bisma (Resi Bisma) sebagai pimpinan perang
dengan pendamping Pendeta Drona dan prabu Salya, raja kerajaan Mandaraka
yang mendukung Korawa. Bisma menggunakan siasat Wukirjaladri yang
berarti “gunung samudra.”
Balatentara Korawa menyerang laksana gelombang lautan yang
menggulung-gulung, sedang pasukan Pandawa yang dipimpin Resi Seta
menyerang dengan dahsyat seperti senjata yang menusuk langsung ke pusat
kematian. Sementara itu Rukmarata, putra Prabu Salya datang ke
Kurukshetra untuk menonton jalannya perang. Meski bukan anggota pasukan
perang, dan berada di luar garis peperangan, ia telah melanggar aturan
perang, dengan bermaksud membunuh Resi Seta, Pimpinan Perang Pandawa.
Rukmarata memanah Resi Seta namun panahnya tidak melukai sasaran.
Setelah melihat siapa yang memanahnya, yakni seorang pangeran muda yang
berada di dalam kereta di luar garis pertempuran, Resi Seta kemudian
mendesak pasukan lawan ke arah Rukmarata. Setelah kereta Rukmarata
berada di tengah pertempuran, Resi Seta segera menghantam dengan gada
(pemukul) Kyai Pecatnyawa, hingga hancur berkeping-keping. Rukmarata,
putera mahkota Mandaraka tewas seketika.
Dalam peperangan tersebut Arya Utara gugur di tangan Prabu Salya
sedangkan Arya Wratsangka tewas oleh Pendeta Drona. Bisma dengan
bersenjatakan Aji Nagakruraya, Aji Dahana, busur Naracabala, Panah kyai
Cundarawa, serta senjata Kyai Salukat berhadapan dengan Resi Seta yang
bersenjata gada Kyai Lukitapati, pengantar kematian bagi yang
mendekatinya. Pertarungan keduanya dikisahkan sangat seimbang dan seru,
hingga akhirnya Bisma dapat menewaskan Resi Seta. Bharatayuddha babak
pertama diakhiri dengan sukacita pihak Korawa karena kematian pimpinan
perang Pandawa.
Babak Kedua
Setelah Resi Seta gugur, Pandawa kemudian mengangkat Drestadyumna
(Trustajumena) sebagai pimpinan perangnya dalam perang Bharatayuddha.
Sedangkan Bisma tetap menjadi pimpinan perang Korawa. Dalam babak ini
kedua kubu berperang dengan siasat yang sama yaitu Garudanglayang
(Garuda terbang).
Dalam pertempuran ini dua anggota Korawa, Wikataboma dan kembarannya,
Bomawikata, terbunuh setelah kepala keduanya diadu oleh Bima. Sementara
itu beberapa raja sekutu Korawa juga terbunuh dalam babak ini.
Diantaranya Prabu Sumarma, raja Trigartapura tewas oleh Bima, Prabu
Dirgantara terbunuh oleh Arya Satyaki, Prabu Dirgandana tewas di tangan
Arya Sangasanga (anak Setyaki), Prabu Dirgasara dan Surasudirga tewas di
tangan Gatotkaca, dan Prabu Malawapati, raja Malawa tewas terkena panah
Hrudadali milik Arjuna. Bisma setelah melihat komandan pasukannya
berguguran kemudian maju ke medan pertempuran, mendesak maju menggempur
lawan. Atas petunjuk Kresna, Pandawa kemudian mengirim Dewi Wara
Srikandi untuk maju menghadapi isma. Dengan tampilnya prajurit wanita
tersebut, Bisma merasa bahwa tiba waktunya maut menjemputnya, sesuai
dengan kutukan Dewi Amba yang tewas di tangan Bisma. Bisma gugur dengan
perantaraan panah Hrudadali milik Arjuna yang dilepaskan oleh istrinya,
Srikandi.
Tawur demi kemenangan
Dalam babak ini juga diadakan korban demi syarat kemenangan pihak
yang sedang berperang. Resi Ijrapa dan anaknya Rawan dengan sukarela
menyediakan diri sebagai korban (Tawur) bagi Pandawa. Keduanya pernah
ditolong Bima dari bahaya raksasa. Selain itu satria Pandawa terkemuka,
Antareja yang merupakan putra Bima juga bersedia menjadi tawur dengan
cara menjilat bekas kakinya hingga tewas. Sementara itu Sagotra,
hartawan yang berhutang budi pada Arjuna ingin menjadi korban bagi
Pandawa. Namun karena tidak tahu arah, ia bertemu dengan Korawa. Oleh
tipu muslihat Korawa, ia akan dipertemukan dengan Arjuna, namun dibawa
ke Astina. Sagotra dipaksa menjadi tawur bagi Korawa, namun menolak
mentah-mentah. Akhirnya, Dursasana, salah satu anggota Kurawa
membunuhnya dengan alasan sebagai tawur pihak Korawa.
Kutipan dari Kakawin Bharatayuddha
Kutipan di bawah ini mengambarkan suasana perang di Kurukshetra,
yaitu setelah pihak Pandawa yang dipimpin oleh Raja Drupada menyusun
sebuah barisan yang diberi nama “Garuda” yang sangat hebat untuk
menggempur pasukan Korawa.
Kutipan Terjemahan
Ri huwusirə pinūjā dé sang wīrə sirə kabèh, ksana rahinə kamantyan
mangkat sang Drupada sutə, tka marêpatatingkah byūhānung bhayə bhisamə,
ngarani glarirèwêh kyāti wīrə kagəpati
Setelah selesai dipuja oleh ksatria semuanya, maka pada siang hari
berangkatlah Sang Raja putera Drupada, setibanya telah siap mengatur
barisan yang sangat membahayakan, nama barisannya yang berbahaya ialah
“Garuda” yang masyur gagah berani
Drupada pinakə têndas tan len Pārtha sirə patuk, parə Ratu sirə prsta
śrī Dharmātmaja pinuji, hlari têngênikī sang Drstadyumna sahə balə,
kiwə pawanə sutā kas kocap Satyaki ri wugat
Raja Drupada merupakan kepala dan tak lain Arjuna sebagai paruh, para
Raja merupakan punggung dan Maharaja Yudistira sebagai pimpinan, sayap
bagian kanan merupakan Sang Drestadyumna bersama bala tentara, sayap
kiri merupakan Bhima yang terkenal kekuatannya dan Satyaki pada ekornya
Ya tə tiniru tkap Sang śrī Duryodhana pihadhan, Sakuni pinakə têndas
manggêh Śālya sirə patuk, dwi ri kiwa ri têngên Sang Bhīsma Drona
panalingə, Kuru pati Sirə prstə dyah Duśśāsana ri wugat
Hal itu ditiru pula oleh Sang Duryodana. Sang Sakuni merupakan kepala
dan ditetapkan Raja Madra sebagai paruh, sayap kanan kiri adalah Rsi
Bhisma dan pendeta Drona merupakan telinga, Raja Kuru merupakan punggung
dan Sang Dursasana pada ekor
Ri tlasirə matingkah ngkā ganggā sutə numaso, rumusaki pakekesning
byuhē pāndawə pinanah, dinasə gunə tkap Sang Pārthāng laksə mamanahi,
linudirakinambah de Sang Bhīma kasulayah
Setelah semuanya selesai mengatur barisan kala itu Rsi Bhisma maju ke
muka, merusak bagian luar pasukan Pandawa dengan panah, dibalas oleh
Arjuna berlipat ganda menyerang dengan panah, ditambah pula diterjang
oleh Sang Bima sehingga banyak bergelimpangan
Karananikə rusāk syuh norā paksə mapuliha, pirə ta kunangtusnyang
yodhāgal mati pinanah, Kurupati Krpa Śalya mwang Duśśāsana Śakuni, padhə
malajêngumungsir Bhīsma Drona pinakə
toh Sebab itu binasa hancur luluh dan tak seorang pun hendak membalas,
entah berapa ratus pahlawan yang gugur dipanah, Raja Kuru – Pendeta
Kripa – Raja Salya – dan Sang Dursasana serta Sang Sakuni, sama-sama
lari menuju Rsi Bhisma dan Pendeta Drona yang merupakan taruhan
Niyata laruta sakwèhning yodhā sakuru kula, ya tanangutusa sang śrī
Bhīsma Drona sumuruda tuwi pêtêngi wêlokning rènwa ngdé lêwu wulangun,
wkasanawa tkapning rah lumrā madhêmi lebū
Niscaya akan bubar lari tunggang langgang para pahlawan bangsa Kaurawa,
jika tidak disuruh oleh Rsi Bhisma dan Pendeta Drona agar mereka mundur,
ditambah pula keadaan gelap karena mengepulnya debu membuat mereka
bingung tidak tahu keadaan, akhirnya keadaan terang karena darah
berhamburan memadamkan debu
Ri marinika ptêng tang rah lwir sāgara mangêbêk, maka lêtuha
rawisning wīrāh māti mapupuhan, gaja kuda karanganya hrūng jrah
pāndanika kasêk, aracana makakawyang śārā tan wêdi mapulih
Setelah gelap menghilang darah seakan-akan air laut pasang, yang
merupakan lumpurnya adalah kain perhiasan para pahlawan yang gugur
saling bantai, bangkai gajah dan kuda sebagai karangnya dan senjata
panah yang bertaburan laksana pandan yang rimbun, sebagai orang menyusun
suatu karangan para pahlawan yang tak merasa takut membalas dendam
Irika nasēmu képwan Sang Pārthārddha kaparihain, lumihat i
paranāthākwèh māting ratha karunna, nya Sang Irawan anak Sang Pārthāwās
lawan Ulupuy, pêjah alaga lawan Sang Çrênggi rākshasa nipunna
Ketika itu rupanya Arjuna menjadi gelisah dan agak kecewa, setelah ia
melihat Raja-Raja yang secara menyedihkan terbunuh dalam keretanya, di
sanalah terdapat Sang Irawan, anak Sang Arjuna dengan Dewi Ulupi yang
gugur dalam pertempuran melawan Sang Srenggi, seorang rakshasa yang
ulung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar